Selasa, 31 Agustus 2010

DPR dan Pemberantasan Korupsi


Oleh Adnan Topan Husodo

Dalam lingkungan politik yang tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi, mustahil korupsi bisa diatasi. Faktor politik bisa dikatakan sangat determinan dalam konteks mengatasi persoalan korupsi di negara mana pun.

Tanpa dukungan politik kuat, program pemberantasan korupsi akan menghadapi banyak hambatan karena mula-mula pemberantasan korupsi dimulai dari dukungan regulasi dan penguatan sistem antikorupsi yang memadai.

Sebaliknya, komitmen politik yang lemah mencerminkan tingginya tingkat korupsi pada level politik. Di sini masalah terasa berputar-putar karena faktor yang menentukan pemberantasan korupsi justru jatuh pada persoalan yang hendak diberantas.

Oleh karena itu, jebakan lingkaran setan kegagalan pemberantasan korupsi harus sedini mungkin dihindari. Ironisnya, wajah DPR yang 70 persen pendatang baru justru menunjukkan kecenderungan sikap politik DPR yang sangat konservatif, untuk tidak dibilang antipati terhadap pemberantasan korupsi.

Melemahkan agenda

Sikap antipati parlemen terhadap beberapa proposal reformasi regulasi yang tujuannya memperkuat agenda pemberantasan korupsi bukan hanya merefleksikan pasang surut komitmen politik wakil rakyat. Yang lebih mengkhawatirkan, adanya politisasi program antikorupsi oleh parlemen.

Bisa dikatakan, teriakan lantang anggota parlemen terhadap beberapa skandal besar, seperti Bank Century, tampak condong pada bobot kepentingan politiknya ketimbang spirit antikorupsi yang digelorakan oleh politisi Senayan. Tak heran jika sikap politik DPR terhadap agenda antikorupsi sering tidak konsisten.

Kelembagaan parlemen juga mudah jatuh pada pemanfaatan kepentingan pribadi para anggotanya, baik untuk membangun kerajaan bisnis keluarga melalui proyek-proyek titipan maupun sebagai alat untuk mempromosikan sikap loyal pribadi terhadap kekuasaan cabang lain, misalnya eksekutif. Apa yang disampaikan Ketua DPR RI Marzuki Alie kepada pers beberapa waktu lalu bahwa Aulia Pohan, besan Presiden SBY, bukanlah koruptor mencerminkan artikulasi kepentingan individual yang kental. Dengan pernyataannya, ia hendak menegaskan dukungannya terhadap keluarga besar Cikeas.

Fatalnya, pernyataan itu telah menyeret kelembagaan DPR RI dalam situasi yang bisa disebut sebagai ”penyalahgunaan” jabatan karena posisinya sebagai Ketua DPR RI. Wacana bahwa Aulia Pohan bukanlah koruptor membawa implikasi sangat serius, terutama pada konteks otonomi kekuasaan yudikatif. Bisa disebut, Ketua DPR RI telah melakukan serangan yang frontal terhadap eksistensi kekuasaan yudikatif yang memiliki hak sepenuhnya untuk menempatkan seseorang itu koruptor atau bukan.

Jika kekuasaan politik parlemen dapat menegasikan keputusan yudikatif yang independen, dampak lanjutannya adalah kekacauan pada konsep trias-politica yang kita anut. Rehabilitasi politik ala Ketua DPR RI terhadap Aulia Pohan memang kental aroma kepentingan pribadi, tetapi fenomena semacam ini tak bisa dianggap sepele karena Ketua DPR sudah membawa kelembagaan parlemen ke jalur yang kontra dengan lembaga penegak hukum korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Anti terhadap reformasi

Sinyal buruk bagi agenda pemberantasan korupsi juga ditunjukkan parlemen dalam usul penguatan wewenang kelembagaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan KPK untuk menangani kasus pencucian uang. Serangan black campaign anggota DPR terhadap rumusan revisi draf UU Pencegahan dan Pencucian Uang milik pemerintah adalah langkah awal menempatkan gagasan positif bernuansa reformis ke ide-ide yang terkesan sesat. Wacana mengenai hak impunitas, keinginan PPATK untuk dapat menyadap dan menahan seseorang adalah isu yang diembuskan sebelum draf revisi UU itu sendiri tuntas dibaca.

Selanjutnya, melalui Tim Perumus RUU Pencegahan dan Pencucian Uang yang telah menyelesaikan rapat kerja 20-22 Agustus 2010, upaya menjegal wewenang KPK dan PPATK agar dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan kembali dilakukan dengan mengembalikan wewenang itu hanya kepada Kepolisian dan Kejaksaan. Tak ada alasan yang disampaikan, tetapi manuver politik melalui tim perumus merupakan sikap yang sulit diterjemahkan dalam logika kepentingan publik.

Sebagaimana kita tahu, institusi Kepolisian dan Kejaksaan selama ini tak mampu menunjukkan kinerja dalam menangani kejahatan pencucian uang. Berdasarkan data PPATK sampai April 2010, dari 2.442 transaksi keuangan mencurigakan yang ditemukan, sekitar 1.030 (42,18 persen) berasal dari korupsi.

Sebanyak 92 persen Laporan Hasil Analisis diserahkan ke Kepolisian dan hanya 8 persen yang diserahkan ke Kejaksaan. Namun, kasus yang diproses dan diputus menggunakan UU Nomor 15 Tahun 2002 dan UU No 25/2003 tentang Pencucian Uang sangat minim. Seperti dilaporkan PPATK, hanya 26 berkas putusan yang menggunakan UU Pencucian Uang sebagai dasar penghukuman.

Sangat mungkin resistensi parlemen terhadap usulan adanya akuntabilitas silang antara Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan PPATK sendiri karena kentalnya konflik kepentingan. Korupsi yang menggurita di parlemen akan sangat mudah dideteksi jika wewenang penyelidikan dan penyidikan kasus pencucian uang diserahkan juga ke KPK. Demikian pula, ada indikasi kuat kasus dugaan pencucian uang yang dilaporkan PPATK ke penyidik Kepolisian dan Kejaksaan selama ini justru jadi ajang mafia hukum.

Persekongkolan politik dengan penegak hukum memang sebuah labirin yang sampai hari ini masih sulit ditembus. Tak heran jika agenda pemberantasan korupsi justru sering terganjal oleh kepentingan politik.

Adnan Topan Husodo Wakil Koordinator ICW

(Dikutip dari Harian Kompas, tanggal 1 September 2010)

Kamis, 08 Oktober 2009

Lanskap Ekonomi Indonesia - Faisal: Pertamina, Contoh BUMN Memble



Pertamina merupakan BUMN energi yang sangat tidak efisien dibandingkan pesaingnya.


VIVAnews - Ekonom Faisal Basri menilai PT Pertamina merupakan salah satu contoh BUMN memble dan kacangan. Alasannya, ini merupakan BUMN terbesar dan diandalkan, namun tidak menunjukkan kinerja yang wajar.

"Orang selalu terkesima dengan ukuran perusahaan dan jumlah laba yang disetorkan kepada negara," ujar Faisal dalam bukunya Lanskap Ekonomi Indonesia yang diluncurkan Rabu di Jakarta, Jumat, 9 Oktober 2009.

Di halaman 380, Faisal menilai sektor yang dikelola Pertamina adalah sangat penting, teknologinya serba rumit, dan gaji eksekutifnya gede-gede. "Tapi, siapa sangka jika Pertamina menjadi perusahaan kacangan."

Menurut dia, Pertamina dengan segala kemegahannya tidak mampu menunjukkan kinerja yang wajar, apalagi memuaskan.

Faisal membeberkan contoh dalam hal efisiensi produksi minyak atau gas Pertamina dibandingkan dengan perusahaan migas lain, terutama asing yang beroperasi di Indonesia.

Baik dalam produksi migas selama periode 2004-2006, rata-rata Pertamina membebankan cost recovery termahal, yakni US$ 27,4 per barel minyak. Jika harga di pasar dunia US$ 100 per barel, mungkin tidak efisiennya produksi Pertamina tidak terasa.

Tapi, dia bertanya bagaimana jika harga internasional cuma US$ 40 per barel. "Masak iya, 70 persen pendapatan minyak habis begitu saja untuk membayar biaya produksi Pertamina?"

Mahalnya cost recovery Pertamina ini, kata dia, jelas keterlaluan karena biaya tertinggi kedua hanya US$ 18 per barel, bahkan ada yang bisa memproduksi dengan biaya hanya US$ 9,66 per barel.

Ini tak jauh berbeda dengan biaya produksi per kaki kubik gas, Pertamina membebankan cost recovery US$ 3,3. Kontraktor lain hanya sebesar US$ 1,3-2,75 per kaki kubik gas. "Jadi, biaya Pertamina lagi-lagi paling mahal."

Dia mengingatkan secara agregat, Pertamina menyumbangkan 11,8 persen minyak mentah Indonesia, namun menghabiskan 21,9 persen biaya produksi yang ditanggung negara. Untuk gas, Pertamina menyumbang 15 persen produksi, namun menelan 23,7 persen dari total biaya produksi gas nasional.

Yang lebih keterlaluan, menurut ekonom UI ini, cost recovery yang dituntut Pertamina bahkan melonjak tajam pada 2007. Buktinya, Chevron yang setiap hari memproduksi 450 ribu barel minyak mentah, hanya minta pengembalian (cost recovery) US$ 1,1 miliar per hari. Itu setara dengan US$ 6,8 per barel.

Sedangkan, Pertamina yang setiap harinya memproduksi 146 ribu barel per hari meminta pengembalian US$ 1,9 miliar. Itu berarti Pertamina membebani negara dengan cost recovery US$ 36,1 per barel. "Itu 5,3 kali lipat lebih mahal ketimbang Chevron."

Kalau sudah begini, dia bertanya apa semua produksi minyak diserahkan saja ke Chevron? Secara ekonomis itu diperlukan, namun Faisal mengingatkan itu justru akan memicu gelombang protes atas dominasi asing. Tapi, kalau Pertamina tetap beroperasi uang negara yang dikorbankan.

"Sungguh ironis, dalam kondisi demikian, Dirut Pertamina masih bisa bicara soal target mengalahkan Petronas Malaysia dan menjadikan Pertamina sebagai perusahaan energi multinasional." (heri.susanto@vivanews.com) (dikutip dari vivanews.com tanggal 9 Oktober 2009 oleh AM)



Rabu, 30 September 2009

Memperalat Penegakan Hukum

Oleh: Adnan Topan Husodo

POLITIK dan hukum memang selalu tidak dapat dipisahkan. Keduanya berada pada aras yang saling memengaruhi. Bedanya, lingkungan politik yang sehat akan mendukung hukum untuk bekerja dengan prinsip objektivitas dan imparsialitas. Sementara lingkungan politik yang kotor sangat mungkin menempatkan hukum sebagai alat kepentingan elite belaka.

Masalahnya, dalam situasi yang di dalamnya korupsi sudah sedemikian akut, merajalela, dan sistemik, menyelesaikan korupsi dengan penegakan hukum kerap terbentur berbagai macam resistensi yang tidak bisa dianggap sederhana. Korupsi yang sudah membentuk kartel, kolusi yang mengakar antara kekuasaan politik, kalangan bisnis dan aparatur penegak hukum bukanlah soal yang bisa dirumuskan penyelesaiannya dengan mudah. Dan, KPK hadir dalam situasi yang kurang lebih demikian.

Karena itu, tak heran jika agenda pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK terasa menjadi ganjalan besar bagi kemapanan para elite korup. Apalagi, jangkauan KPK mulai masuk ke ranah kekuasaan yang selama ini sudah dicap kebal hukum semisal DPR, besan presiden, pejabat Bank Sentral, raja kecil di daerah (kepala daerah), dan sebagainya.

Demikian pula, KPK sebagai lembaga penegak hukum mesti berhadapan langsung dengan aparat penegak hukum lain untuk membereskan masalah korupsi. Tertangkapnya seorang jaksa dan diprosesnya mantan Kapolri karena terlibat korupsi menjadi catatan tersendiri bahwa aparat penegak hukum di Indonesia memang perlu dibersihkan.

Perselingkuhan Kepentingan

Kesan bahwa KPK bekerja sendirian dalam memberantas korupsi memang tak berlebihan. Ironisnya, proteksi politik yang sangat dibutuhkan KPK untuk memberantas korupsi dengan lebih efektif harus berhadapan dengan kepentingan politik yang kerap terganggu oleh gebrakan KPK. Untuk saat ini, harus diakui bandul kekuasaan politik lebih mengarah pada upaya melemahkan KPK dibandingkan kemauan memperkuat posisi KPK.

Alih-alih menambah amunisi wewenang bagi KPK dalam rangka meningkatkan kinerjanya, kekuasaan pada wilayah parlemen dan eksekutif justru membangun perselingkuhan untuk mengebiri KPK. Benar sebagaimana dikatakan Pasuk Phongpaichit, seorang peneliti korupsi dari Thailand, dalam kondisi di mana kekuasaan politik menjadi sumber atau pusat korupsi, mustahil berharap dukungan politik dalam memberantas korupsi.

Menurut dia, satu-satunya jalan adalah dengan tuntutan yang kuat dari kalangan masyarakat sipil. Pendek kata, pemberantasan korupsi pada negara yang sistem politiknya korup hanya dapat dilakukan secara bottom-up, tidak top-down. Koalisi CICAK yang didorong oleh berbagai elemen masyarakat sipil memang sedikit banyak terbukti dapat mengerem upaya kekuasaan politik untuk mengamputasi otoritas KPK. Tampaknya, hanya dengan kontrol yang ketat dari publik luas, elite politik tidak dapat dengan mudah mengutak-atik eksistensi KPK.

Celakanya, instrumen untuk melumpuhkan KPK bukan hanya melalui regulasi. Celahnya terbuka lebar melalui penegakan hukum. UU KPK memang didesain dengan standar tinggi. Dengan demikian, ketika unsur pimpinan KPK menjadi tersangka suatu tindakan pidana, yang bersangkutan harus dinonaktifkan oleh presiden.

Oleh karena itu, sangkaan terhadap unsur pimpinan KPK harus benar-benar dilandasi fakta yuridis yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Soalnya, begitu mudah melumpuhkan KPK jika penegakan hukum atas pimpinan KPK telah dirasuki kepentingan berbagai pihak.

Jika disebut-sebut penetapan tersangka oleh Mabes Polri atas dua pimpinan KPK merupakan buah pertemuan kepolisian dengan Komisi III DPR, bukankah ini juga mengindikasikan perselingkuhan kekuasaan politik dan elite penegak hukum? Pasalnya, pada saat yang bersamaan, Kabareskrim Mabes Polri Susno Duadji telah terlebih dulu masuk dalam radar pantauan KPK terkait kasus Bank Century.

Pertaruhan Besar

Pertaruhan besar kini berada pada kepolisian. Kredibilitasnya sebagai penegak hukum sangat mungkin hancur jika upaya hukum terhadap pimpinan KPK ternyata ditunggangi berbagai kepentingan untuk melemahkan KPK. Posisi Kapolri menjadi sangat rawan andaikata polisi tidak dapat membuktikan tuduhan suap yang dialamatkan kepada Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, dua pimpinan KPK yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Kecenderungan yang kini bisa dilihat, polisi justru semakin menunjukkan kebimbangannya. Sangkaan kepada pimpinan KPK terus berubah, sementara ketika masuk pada isu suap, mereka sepertinya tak memiliki alat bukti yang cukup. Bahkan, untuk data mendasar yang berhubungan dengan alibi, polisi ternyata tidak memiliki informasi akurat.

Perkembangan penyidikan di kepolisian atas pimpinan KPK semestinya menjadi rujukan presiden untuk meninjau ulang Perppu Plt Pimpinan KPK. Jika tetap melanjutkan agenda perppu, Presiden SBY sebagai atasan langsung kepolisian dapat dianggap turut merestui penzaliman terhadap pimpinan KPK. Sebab, nyatanya proses itu tidak dilandasi bukti yuridis yang kuat. Atau dalam bahasa lain, SBY dapat dikategorikan terlibat dalam skenario untuk melemahkan KPK.

Sudah bukan waktunya lagi SBY berdalih bahwa posisinya sebagai presiden tidak dapat mencampuri atau mengintervensi proses hukum oleh kepolisian terhadap pimpinan KPK. Barangkali selama ini SBY keliru menerapkan manajemen informasi sehingga banyak keterangan sampah yang masuk dan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan.

Saat ini masa depan pemberantasan korupsi terancam dengan berbagai macam usaha sistematis untuk menghancurkan KPK. Sudah semestinya SBY memikul tanggung jawab besar untuk memulihkannya. (*). Adnan Topan Husodo , Wakil Koordinator ICW
(Dikutip dari Jawa Pos, tanggal 30 September 2009)

Minggu, 27 September 2009

Menyelamatkan KPK

Oleh: Moch. Nurhasim

KISRUH antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri yang tak berujung, akhirnya, memaksa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan untuk melerai. Presiden tetap menghendaki KPK yang kuat. Begitulah pesan presiden yang disampaikan ke publik.

Pesan itu sekaligus menjawab perdebatan publik di media massa bahwa pemerintah tidak terlibat dalam skenario besar untuk memereteli fungsi dan kewenangan KPK. Pemerintah justru ingin menyelamatkan KPK serta membuat KPK kuat dan disegani.

Cintailah KPK

Sejak Ketua KPK Antasari terjerat kasus hukum terkait pembunuhan Nasrudin, yang kemudian disusul kasus hukum ketua-ketua KPK yang lain -Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah- yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan penyalahgunaan wewenang, maka KPK ibarat kapal yang nyaris tenggelam. Sebab, model kepemimpinan mereka adalah kolektif.

Untuk menyelamatkan itu, presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) penunjukan tiga pelaksana tugas pimpinan KPK. Presiden merasa perlu menerbitkan perppu karena menganggap KPK tidak akan berjalan dengan baik jika hanya dipimpin dua orang.

Proses penggantian tiga pimpinan KPK tersebut, khususnya yang terkait dengan Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, semakin memperkuat dugaan awal bahwa ada pihak-pihak yang memang menjadikan para pimpinan KPK sebagai target. Isu substansial dalam kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah yang dijadikan tersangka dugaan penyalahgunaan wewenang akhirnya ''kabur" seiring dengan isu dan skenario penyelamatkan KPK oleh presiden.

Padahal, untuk memperkuat KPK saat ini dan mendatang, perlu klarifikasi dan proses yang transparan atas apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan wewenang oleh Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Sebab, jika di kemudian hari ada intervensi politik lain karena KPK ingin memberangus para pejabat dan politisi, tidak mustahil hal yang sama dapat saja dilakukan.

Oleh karena itu, menurut hemat penulis, substansi penyelamatan KPK harus meliputi dua hal. Pertama, transparansi dan pengawasan serta pengawalan kasus hukum Bibit Samad Rianto dan Chanda M. Hamzah. Jangan sampai dua orang itu menjadi tumbal win-win solution dari kompromi politik berbagai pihak yang memang ingin dan menghendaki penggantian para pimpinan KPK setelah Antasari dapat dipenjarakan.

Mengapa hal itu perlu? Sebab, proses hukum Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah seakan-akan dilupakan oleh pers dan publik. Semua orang tertuju kepada cara kerja anggota Tim Rekomendasi Plt Pimpinan KPK: Taufiequrrachman Ruki, Adnan Buyung Nasution, Menko Polhukam Widodo A.S., Menkum HAM Andi Mattalatta, dan Todung Mulya Lubis dalam mencari orang pengganti.

Kedua, jangan sampai kasus benturan hukum antara para penegak hukum tersebut terus berlanjut. Kita menyaksikan perseteruan antara KPK dan Polri, bahkan ketua Mahkamah Konstitusi pun ikut-ikutan menyindir Polri di media massa seiring dengan pertarungan cecak melawan buaya itu.

Sebab, jika tiga orang pimpinan KPK tersebut diganti orang baru -tentu untuk waktu yang terbatas- apakah ketiganya dapat memulihkan institusi KPK secara cepat dan memaksimalkan kerja KPK secara maksimal. Dalam konteks itu, yang tebersit pada sindiran istilah cecak oleh salah seorang perwira Polri sebenarnya, menurut hemat penulis, pada konteks kinerja penegakan hukum.

KPK selama ini dalam kerjanya dibantu penuh oleh Polri karena sebagian besar penyidik dan intelijen KPK adalah polisi yang diperbantukan oleh Polri di KPK. Dapat dibayangkan jika kemudian para polisi itu ditarik dari KPK, apakah secara institusional KPK tidak mengalami kesulitan untuk melakukan tugas dan fungsinya dalam mengawasi, mencegah, dan menindak para koruptor.

Oleh karena itu, penyelamatan KPK bukan hanya terletak pada lima orang pimpinan KPK yang sekarang banyak diributkan, tetapi kehadiran KPK harus pula dicintai pihak kepolisian (Polri) dan tentu dicintai pula oleh pihak kejaksaan. Hubungan yang harmonis antara KPK, Polri, dan kejaksaan terletak pada kerja sama mereka untuk saling membantu dalam upaya pemberantasan korupsi.

Organisasi KPK memang baru. Karena itu, secara personel memang membutuhkan bantuan dari berbagai instansi seperti Polri dan kejaksaan. Kehadiran KPK amat diperlukan dan dibutuhkan untuk mencegah praktik korupsi kelas kakap yang mungkin sulit diendus institusi lain. Namun, jika dalam cara kerjanya KPK terus-menerus berseteru dengan kepolisian dan hubungannya dengan kejaksaan juga tidak harmonis, kita terlalu muluk mengharapkan efektivitas pemberantasan korupsi di Indonesia.

Perkuat Kejaksaan-Kepolisian

Berdasar beberapa kasus korupsi yang pernah terjadi, bentuk korupsi yang merugikan negara yang sering terjadi selama lima tahun terakhir adalah yang dilakukan para pejabat negara atau institusi pemerintahan. Sebut saja kasus-kasus yang melibatkan anggota DPR, gubernur, bupati, wali kota, menteri, dan pejabat-pejabat negara lainnya.

Mencegah bentuk-bentuk korupsi yang berkelinden dengan jabatan kekuasaan di pemerintahan amatlah naif jika hanya diserahkan kepada KPK, tanpa memperkuat kejaksaan dan kepolisian. Meski KPK kuat, bila institusi penegak hukum lain tidak diberi kekuatan yang sama, baik dari segi wewenang, pendanaan, maupun peralatan, maka prinsip pencegahan korupsi justru akan mengalami ketimpangan.

Jangan sampai kehadiran KPK yang notebene sifat awalnya add hoc (sementara) mengalahkan lembaga penegak hukum lain yang menjadi instrumen utama dalam penegakan hukum di Indonesia. (*)

*). Moch. Nurhasim, peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI di Jakarta .(dikutip dari Jawa Pos, tanggal, 27 September 2009).

Senin, 14 September 2009

Buaya Hampir Memangsa Cicak

[ Selasa, 15 September 2009 ]

Oleh : Arfanda Siregar

PERSETERUAN antara cicak melawan buaya ternyata bukan isapan jempol belaka, tapi sungguh-sungguh terjadi dan menguras banyak energi. Tentu itu tamsil belaka. Di alam nyata, tidak mungkin cicak melawan buaya. Bukan saja habitat keduanya berbeda, melainkan jelas tidak imbang kalau cicak yang mungil bertempur melawan si raksasa buaya.

Kabareskrim Mabes Polri Komjen Polisi Susno Duadji dalam wawancara majalah Tempo edisi 6-12 Juli memopulerkan istilah itu. Susno mengistilahkan KPK adalah cicak dan kepolisian merupakan buaya. "... kok cicak mau melawan buaya?" demikian ucap dia saat mengomentari sepak terjang KPK akhir-akhir ini.

Pernyataan itu lantas dituding sebagai upaya kepolisian untuk melumpuhkan KPK. Lalu, muncul Cicak, singkatan Cintai Indonesia Cintai KPK. Gerakan tersebut dideklarasikan di Tugu Proklamasi pada 12 Juli lalu, diprakarsai sejumlah tokoh dan aktivis antikorupsi, termasuk Teten Masduki, Erie Riana Harja Pamengkas, dan Taufiqurrahman Ruki. Dua nama terakhir adalah mantan petinggi Cicak periode pertama yang merasa rongrongan buaya terhadap cicak kian kental akhir-akhir ini.

Kepolisian Sewot

Kepolisian pantas sewot dengan gebrakan KPK belakangan ini. KPK ibarat pagar makan tanaman. Sudah dilatih kepolisian dengan berbagai keterampilan yang mampu mengejar koruptor sampai ujung dunia, setelah ahli malah KPK tanpa perasaan risi membidik gurunya. Kehadiran KPK kian hari menjadi ancaman serius bagi pejabat publik, elite partai politik, termasuk para petinggi kepolisian yang korup. Di angan KPK, tidak ada lagi lembaga yang kebal dari proses hukum.

Adalah Susno yang terkena getahnya. Telepon genggamnya tanpa disadari telah disadap petugas KPK ketika akan menyelidiki kasus korupsi di Bank Century. Dalam kasus tersebut, terindikasi sang Komjen terlibat. Mungkin emosi atas kelancangan KPK, keluarlah kecaman yang kontroversial tersebut.

Ternyata, bukan hanya Komjen yang gerah atas sepak terjang KPK. Seluruh petinggi kepolisian agaknya juga sewot dan merasa dimata-matai KPK. Bukan rahasia umum lagi, sepanjang 2007 sampai sekarang kepolisian bersama-sama kejaksaan menduduki peringkat atas sebagai lembaga negara terkorup di Indonesia. Jika KPK dibiarkan merdeka dengan berbagai kewenangan yang luar biasa, bukan tidak mungkin dalam waktu dekat ini KPK mengincar satu per satu para petinggi kepolisian.

Perseteruan tidak dapat dihindari antara dua lembaga hukum itu. Seperti diberitakan berbagai media, mereka kini saling serang, saling ancam, dan saling memperlihatkan taring. Berat bagi KPK, kian hari perseteruan itu kian melemahkan kekuatannya. Semakin banyak saja lembaga yang kemudian turut berbaris di belakang kepolisian untuk mengeroyok KPK. Lembaga-lembaga negara yang pernah menikmati pahitnya hasil kerja KPK tanpa diperintah menyatukan barisan dengan buaya.

Pertarungan itu bisa disaksikan sejak Antasari Azhar ditangkap dan diperiksa kepolisian. Betapa kompaknya kepolisian dengan kejaksaan dalam menindaklanjuti perkara tersebut. Bahkan, Kejaksaan Agung berani menyatakan Antasari sebagai tersangka sebelum Mabes Polri menetapkan status tersebut.

Bahkan, jauh sebelum Antasari ditangkap, KPK terus digembosi oleh berbagai pihak. Misalnya Ahmad Fauzi. Anggota DPR dari Partai Demokrat itu sampai meminta KPK dibubarkan. Juga Nursyahbani Katjasungkana. Anggota DPR dari fraksi PKB tersebut meminta KPK tidak mengambil keputusan alias tidak usah kerja lagi untuk penyelidikan korupsi yang membutuhkan keputusan terkait dengan kasus Antasari. Bahkan, beberapa minggu lalu SBY tega menyerang KPK dengan mengatakan bahwa KPK telah menjadi lembaga superbodi sehingga wewenangnya butuh diwanti (dikurangi).

Babak Akhir KPK

Sekarang konflik cicak dan buaya berada pada episode penutup setelah ketua KPK terjerembap dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen yang dicurigai sebagai skenario pembunuhan awal KPK. Hantaman selanjutnya justru datang dari Antasari yang membuat testimoni bahwa sejumlah pejabat komisi itu menerima uang dari Direktur PT Masaro Anggoro Widjojo. Akibatnya, empat pimpinan KPK yang tersisa harus diperiksa polisi beberapa hari lalu.

Walau keempatnya masih berstatus saksi, muncul kabar dari kejaksaan bahwa salah seorang pimpinan KPK, yaitu Chandra, telah menjadi tersangka. Sangat mungkin sebentar lagi Chandra dijebloskan ke dalam tahanan.

Tentu Chandra sangat membantah tudingan tersebut. Sayang, dia mungkin lupa bahwa 80 persen penyidik KPK adalah anggota Polri yang berpangkat AKP atau komisaris yang tergabung dalam kelompok buaya!

Andai nasib buruk menimpa keempat pimpinan KPK menyusul ketuanya ke terali besi, bagaimana nasib lembaga yang lahir dari rahim reformasi tersebut? Sementara itu, di DPR, RUU tentang Pengadilan Tipikor tinggal ketok palu. Salah satu pasal pembunuhan kepada KPK yang sudah disepakati DPR dan pemerintah adalah dihapuskannya kewenangan penuntutan dari KPK. Banyak pihak berteriak supaya SBY mengakhiri perseteruan tersebut.

Namun, sepertinya teriakan itu berada dalam gua, memantul-mantul menerpa dinding gua sebelum hilang entah ke mana. Presiden kita terlalu sibuk mematut-matut baju baru yang paling pas untuk para pembantunya sehingga tidak mau ikut campur atas pertikaian buaya dengan cicak. Seharusnya, presiden tidak boleh angkat tangan karena pada pemilu dan pilpres kemarin menggunakan keberhasilan cicak sebagai bahan kampanye. Jangan biarkan buaya memangsa cicak, Pak! (*)

*) Arfanda Siregar, dosen Politeknik Negeri Medan

(Dikutip dari Jawa Pos, tanggal 15 September 2009)

detikcom : Godzilla Jadi Gorila, CICAK Tak Takut

title : Godzilla Jadi Gorila, CICAK Tak Takut
summary : Dua sosok monster berbentuk Godzilla mendatangi Gedung KPK. Dua Godzilla itu mengenakan kostum warna coklat sehingga lebih mirip gorila. Pantas saja tidak ada yang ketakutan. Bahkan 2 Godzilla itu dibiarkan saja mondar-mandir. (read more)

detikcom : Chandra & Bibit Kembali Diperiksa, Cicak Akan Gelar Aksi Putih di KPK

title : Chandra & Bibit Kembali Diperiksa, Cicak Akan Gelar Aksi Putih di KPK
summary : Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto akan kembali menjalani pemeriksaan di Mabes Polri pada Selasa (15/9/2009) besok. Sebelum kedua pimpinan ini pergi ke Mabes Polri, akan digelar suatu prosesi di KPK. (read more)

detikcom : Koalisi LSM Siap Bela KPK

title : Koalisi LSM Siap Bela KPK
summary : Koalisi LSM Anti Kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan, adaya upaya penggembosan lembaga itu yang dilakukan secara sistematis. Oleh karenanya, Koalisi LSM ini akan melakukan pembelaan terhadap upaya kriminalisasi KPK tersebut. (read more)

detikcom : Kapuspenkum: Kualitas Jaksa di Kejagung Lebih Baik dari KPK

title : Kapuspenkum: Kualitas Jaksa di Kejagung Lebih Baik dari KPK
summary : Kapuspenkum Kejagung Jasman Panjaitan berani bicara soal kualitas jaksa di Kejagung. Dia menjamin para jaksa yang berkantor di Kejagung lebih baik di bandingkan jaksa di KPK. (read more)

detikcom : Jika Ada Tersangka, Pimpinan KPK dan Para Direktur Akan Mundur

title : Jika Ada Tersangka, Pimpinan KPK dan Para Direktur Akan Mundur
summary : 2 Wakil Ketua KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto hari ini akan kembali menjalani pemeriksaan oleh polisi. Beberapa pimpinan serta pejabat struktural KPK yang lain siap mengundurkan diri jika ada dari mereka yang dijadikan tersangka. (read more)

Saatnya Koruptor Dapat Berkah

Oleh : Jabir Alfaruqi

Saat ini seakan menjadi puncak ''penebangan'' Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara terang-terangan terjadi. Penebangan pun dilakukan tanpa ''tebang pilih''. Semua pimpinan KPK akan di-Antasari Azhar-kan. Indikasi itu cukup kuat dengan bisa dilihat dari kemiripan proses yang terjadi terhadap empat pimpinan KPK sekarang ini dengan apa yang pernah dialami Antasai Azhar (AA).

Minggu, 13 September 2009

Enam Titik Perseteruan Polri-KPK

Oleh : Febri Diansyah

Bagaimana sebenarnya duduk perkara silang sengkarut kasus yang melibatkan empat pucuk pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Banyak pihak memandang, ini adalah konflik Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dengan KPK secara institusional. Padahal, belum tentu.

Secara jernih, kronologi kasus tersebut dapat didekati minimal dengan enam titik krusial. Pertama, penetapan Antasari Azhar, ketua KPK (nonaktif), sebagai tersangka dan aktor intelektual (intelectual dader) dalam pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen oleh Polri. Saat itu sebagian masyarakat yang mencermati rekam jejak Antasari tentu tidak akan kaget.

Perseteruan Polri dengan KPK terus Menggelinding

Bantah Salahi Wewenang, Anggap Sudah Prosedural

JAKARTA - Bola panas perseteruan Polri dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menggelinding. Kali ini para pim­pinan lembaga antikorupsi itu menilai upa­ya kriminalisasi terhadap mereka lewat du­gaan penya­lah­gunaan kewenangan terkesan dipaksakan. Komisi berpendapat bahwa lang­kah tersebut akan berakibat pada ketidakpas­tian hukum.

Menurut Wakil Ketua KPK M. Jasin, penye­lidikan, penyidikan, dan penuntutan yang di­lakukan KPK selama ini telah sejalan de­ngan undang-undang dan standar operasi­onal prosedur (SOP) yang berlaku. "Secara yuridis, kami menilai tidak ada penyalahgunaan kewenangan," ungkapnya kemarin (13/9) di Jakarta.

Namun, lanjut dia, langkah itu dipersoalkan oleh penegak hukum lain, yakni polisi. Bahkan, Mabes Polri memeriksa satu per pejabat KPK Jumat lalu. Empat pejabat KPK itu adalah Chandra Marta Hamzah, Bibit Samad Riyanto, M. Jasin, dan Haryono Umar.

Menurut polisi, status mereka masih saksi dalam dugaan penyalahgunaan wewenang penerbitan dan pencabutan surat cekal dalam kasus korupsi PT Masaro. Menurut rencana, besok (15/9) Chandra dan Bibit dipanggil lagi ke Mabes Polri.

Tetapi, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Marwan Effendy sudah menyatakan ada tersangka dalam kasus penyalahgunaan kewenangan KPK yang ditangani Direktorat III/Pidana Korupsi Bareskrim Mabes Polri tersebut. Itu sesuai dengan surat perintah penyidikan (SP Dik) yang dilampirkan dalam surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) yang diterima Kejaksaan Agung.

''Seharusnya, ini tidak boleh terjadi. Ini berarti negara tidak ada kepastian hukum," ucap Jasin. Dia menambahkan bahwa pencekalan terhadap Direktur PT Masaro Anggoro Widjoyo dilakukan KPK untuk memperlancar tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Sebab, dari penelusuran tim KPK, Anggoro yang kini buron diduga terlibat dua kasus korupsi.

Perkara pertama adalah dugaan suap kepada anggota DPR untuk meloloskan rekomendasi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT). Di sisi lain, KPK menemukan indikasi baru dalam proyek pengadaan tahun 2006-2007. Anggaran yang dipergunakan Rp 180 miliar. Audit BPKP menjelaskan bahwa anggaran sebesar itu total lost.

''Terus terang, langkah KPK menyelidiki Anggoro itu untuk kepentingan bangsa dan negara. Rakyat yang sudah mulai cerdas harus paham masalah ini," ucapnya. Dia menjelaskan, justru KPK yang memiliki kewenangan mengawasi Polri sepanjang terkait dengan pemberantasan korupsi.

Ini sesuai dengan pasal 6 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. "Seharusnya, yang punya kewenangan supervisi adalah KPK. Tapi, sekarang fakta yang terjadi justru sebaliknya," jelas Jasin. Dia pesimistis upaya pemberantasan korupsi oleh KPK itu bisa terus berlangsung.

Sebab, menurut dia, banyak elemen yang memusuhi dan ingin menghancurkan lembaga tersebut. Dia yakin, konflik antar penegak hukum tersebut akan sampai ke telinga dunia internasional. "Sebab, selama ini komisi memiliki reputasi yang baik di luar negeri," jelasnya.

Kalau mau menyadari, lanjut dia, gencarnya KPK dalam memberantas korupsi juga mempunyai peran mendongkrak indeks persepsi korupsi (IPK). Saat ini IPK Indonesia memang masih 2,6. Indonesia juga masih belum beranjak dari sebutan negara terkorup.

Menurut Survey Transparency Internasional Indonesia (TII), negara ini masih bertengger di peringkat 126 di antara 180 negara. Negara ini masih kalah jika dibandingkan dengan Filipina, Laos, Kamboja, dan Myanmar. Agar pemberantasan korupsi terus berlangsung, yang dibutuhkan adalah political will dari pemerintah.

Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto mengungkapkan bahwa langkah KPK memberantas korupsi memang selalu membikin gerah sejumlah pihak. "Kami berharap mereka yang salah harus seleh (lapang dada). Tapi, ini tidak, mereka melakukan perlawanan," jelasnya. ''Dan mereka yang melawan niat baik komisi itu banyak sekali. Juga dengan berbagai macam cara," imbuh pensiunan jenderal polisi tersebut.

Bibit juga tidak mengetahui mengapa Anggoro yang diduga merugikan negara justru dibela. "Saya tidak tahu siapa dia, apa dia termasuk sinterklas," jelasnya.

Dia menilai bahwa pengusutan terhadap pimpinan KPK itu berawal dari tekanan politik kepada polisi saat menyelenggarakan rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPR beberapa waktu lalu. Polisi mendapatkan mandat untuk mengusut lebih tuntas dugaan suap dari PT Masaro ke tubuh komisi. ''Ini semua karena ada tekanan politik," ucapnya.

Keanehan lain yang menjadi perdebatan, kata Bibit, tambahan delik-delik korupsi dalam pengusutan pimpinan KPK tersebut. "Awalnya hanya pasal 23 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tapi, ada tambahan pasal lain. Saya nggak tahu dari mana itu," ungkapnya.

Besok (15/9) Bibit dan Chandra akan menghadap penyidik untuk pengusutan penyalahgunaan kewenangan lebih lanjut di kepolisian. Meski kewenangannya terus diguncang, KPK tidak akan pantang memberantas korupsi. "Pemberantasan korupsi jalan terus, tidak berhenti," katanya.

Sejumlah penggiat antikorupsi juga mengkritik keras upaya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK itu. Kritik tersebut ditunjukkan dalam sebuah parodi kunjungan Dewan Perwakilan Binatang (DPB) yang mengeluhkan lemahnya komitmen pemerintah dan DPR dalam pemberantasan korupsi.

Parodi tersebut diperankan sejumlah aktivis LSM antikorupsi. Mereka berdandan ala binatang dan menamakan dirinya sebagai Dewan Perwakilan Binatang. Sejumlah binatang, antara lain macan tutul, gorila, beruang madu, dan kelinci, mendatangi kantor ICW dengan mengendarai Honda CRV.

Mereka kemudian bertemu dengan koalisi LSM. Setelah berdiskusi dan bertukar cenderamata, para ''binatang" tersebut juga menyelenggarakan konferensi pers dengan wartawan. Isinya lebih banyak kecaman kepada DPR betulan dan pemerintah.

''Kami yang binatang saja mendukung KPK dan Pengadilan Tipikor. Bagaimana mungkin DPR, partai politik, dan Kejaksaan Agung justru sebaliknya," ujar Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho yang kemarin mengenakan kostum gorila.

Kriminalisasi terhadap pimpinan KPK dinilai mereka akan melumpuhkan lembaga tersebut. Sementara itu, kritik kepada Kejagung tersebut menyeruak setelah Jaksa Agung Hendarman Supandji meminta pengembalian kekuasaan penuntutan dari KPK ke Kejagung.

Emerson juga meminta presiden memberikan komitmennya terkait dengan munculnya serangan kepada eksistensi KPK dan Pengadilan Tipikor. ''Presiden harus bicara soal ini. Kalau dia (presiden) mendiamkan berarti bukan pemimpin pemberantasan korupsi," tambahnya.

Menyangkut eksistensi Pengadilan Tipikor, presiden harus secara tegas menolak pengesahan RUU Pengadilan Tipikor yang kini dibahas parlemen. "Presiden harus menghentikan pembahasan kalau ada materi yang membahayakan KPK dan Pengadilan Tipikor,'' ucapnya.

Sebab, DPR saat ini dinilai telah menyimpang dari amanat Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pembahasan undang-undang tersebut. Tidak hanya itu, sejumlah kewenangan KPK juga sedang dipersoalkan di parlemen. Misalnya, kewenangan penyadapan yang diwacanakan harus meminta izin lebih dahulu kepada ketua pengadilan negeri. Termasuk juga soal penuntutan yang diminta Kejaksaan Agung untuk dikembalikan ke pangkuannya.

Secara terpisah, perseteruan KPK dengan Polri diwarnai dengan laporan Masyarakat Antikorupsi Indonesia (Maki) soal Kabareskrim Polri Komjen Pol Susno Duadji ke bagian Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri. Tidak hanya itu, Maki juga segera mengajukan gugatan praperadilan terhadap Polri terkait penanganan kasus Bank Century.

"Kami menilai sudah ada pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Kabareskrim," kata Koordinator Maki Boyamin Saiman ketika dihubungi kemarin. Laporan sudah didaftarkan ke bagian Propam akhir pekan lalu.

Dia menjelaskan, dasar laporan tersebut adalah surat yang dikirimkan ke Bank Century. Isinya menyebutkan tidak ada masalah dengan uang USD 18 juta milik Boedi Sampoerna, salah seorang deposannya. "Mestinya, itu adalah kewenangan Kapolri karena ini antarinstansi," kata Boyamin.

Sebagai Kabareskrim, lanjut dia, Susno bisa saja mengirimkan surat tersebut. Namun, atas namanya harus Kapolri dan ada nota dinas. "Nah ini? Ini seperti surat liar yang dikeluarkan oleh oknum Bareskrim," urai dia.

Menurut Boyamin, seharusnya dengan adanya laporan penggelapan dana nasabah Bank Century, Kabareskrim menindaklanjutinya dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan. Langkah-langkahnya, antara lain, adalah memanggil orang, saksi-saksi, dan menyita barang bukti. "Tapi, ini malah diminta dicairkan. Jadi, ini seperti bentuk penghilangan barang bukti," jelasnya.

Gugatan praperadilan yang akan diajukan, kata dia, tidak perlu menunggu respons dari bagian Propam atas laporan itu. Menurut dia, tindakan Polri yang meminta pencairan tersebut dinilai di luar kewenangan Polri, yaitu menyelidiki dan menyidik perkara. "Itu sudah di luar kewenangan," tegas dia. (git/fal/iro)(Dikutip dari Jawa Pos, tanggal 14 September 2009)

Ketegangan KPK dan polisi

Akhirnya, setelah cukup lama ditutup-tutupi, terbuka juga ‘perseteruan’ antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polisi. Walaupun belum juga dinyatakan secara terbuka, pemanggilan para pejabat KPK ke Mabes Polri yang berselang tidak lama dari pemeriksaan petinggi Polri oleh KPK, bukan hanya kebetulan semata.

Seperti telah lama diketahui, sejak kemunculan KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi, lembaga ini menjelma sebagai superbody yang mampu menjelajah ke mana saja. Tidak jarang KPK melakukan overlapping, seolah-olah mengambil alih peran lembaga ataupun institusi lain. Termasuk dengan lembaga penegak hukum seperti Polri. Sejak itulah terjadi persaingan dalam penanganan perkara korupsi.

Sampai akhirnya muncul ‘perseteruan’ meski tidak dinyatakan secara terbuka. Dan kesaktian KPK sebagai lembaga superboy luntur setelah Ketua KPK non-aktif, Antasari Azhar terjerat masalah hukum berat. Dari situ Polisi mempunyai bukti bahwa KPK bukan lembaga seperti dibanggakan selama ini. Terutama setelah Antasari Azhar membuka aib instansinya dengan testimoni adanya kasus suap.

Dari pengembangan pengakuan Antasari itu, Polri menemukan bukti adanya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pejabat KPK dalam menangani kasus PT Masaro. Sehingga Mabes Polri menetapkan status tersangka kepada pejabat KPK tersebut.(Dikutip dari Duta Masyarakat, tanggal 14 September 2009).

Kejaksaan Agung Tidak Sensitif


Oleh : Ahmad Mustofa

Kontroversi di masyarakat perihal saling serang antara KPK dan Polri rupanya tidak dibaca dengan baik oleh Kejaksaan Agung. Jaksa Agung Hendraman Supanji sendiri malah menyulut kontroversi baru dengan menyebut GODZILA bagi kerjasama antara polisi + kejaksaan agung dalam pemberantasan kejahatan. Sebutan ini konon mengacu ke sebutan cicak untuk KPK dan buaya untuk POLRI.


Godzila sendiri adalah binatang fiksi rekaan para sinaes barat. Dimana postur godzila adalah semacam moster hewan yang menakutkan dan merusak. Sehingga kalau kejaksaan agung plus polisi diibaratkan godzila, apa memang kejaksaan agung dan polisi itu menakutkan, seram, dan merusak.

Mestinya sebagai seorang kepala lembaga tinggi penegak hukum di Indonesia, kepala kejaksaan agung juga harus peka dan menyerap aspirasi masyarakat, demi tegaknya hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia yang diidam-idamkan masyarakat.

Bukannya malah memperkeruh suasana dan mngkroyok rame-rame KPK.
Kalaupun oknum KPK ada yang salah dan menyalahgunakan jabatan, mestinya harus ditindak sesuai proporsinya, jangan lembaganya yang di seolah-olah akan dihabisi.
Padahal masyarakat sudah menaruh asa yang cukup tinggi ke pundak KPK. Jadi kalau ada yang mau melawan KPK, seolah-olah dia juga melawan masyarakat luas. Dan ini yang rupanya tidak dipahami dengan benar oleh Jaksa Agung.

Jadi kayaknya sekarang ini, cicak akan tarung melawan buaya dan godzila.
Kalau di dunia nyata cicak pasti mati melawan keduanya, namun semoga di dunia penegakan hukum di Indonesia ini cicak bisa mengakali buaya dan godzila, sehingga keduanya dibuat akan mati kelaparan dan menyerah (Ahmad Mustofa)

Ini adalah cita-cita dan do'a seorang anak bangsa, semoga di bulan yang suci ini, do'a dan cita-cita anak bangsa dikabulkan oleh Allah.
(tanggal 13 September 2009, Ahmad Mustofa)

Hendarman panen kecaman gara-gara godzilla

Kontroversi “cicak vs buaya” belum sepenuhnya mereda, tapi Jaksa Agung Hendarman Supandji justru menambah kontroversi baru dengan menyebut Godzilla. Maksud Jaksa Agung bila polisi digabung jaksa dalam menangani skandal Bank Century, maka akan sekuat Godzilla. Analog ini diduga diberikan untuk mengecilkan lembaga KPK yang sebelumnya dianggap sebagai “cicak”. Karena itu Hendarman pun dinilai tidak sensitif karena telah mengeluarkan pernyataan Godzilla tersebut.

“Kita hanya bisa menduga-duga apa maksud perkataannya itu. Tapi apa pun konteksnya, itu menunjukkan betapa tidak sensitifnya dia (Hendarman) dengan perkembangan yang ada,” kata pengamat hukum UGM Zainal Arifin Mukhtar saat dihubungi Sabtu (12/9).

Menurut Zainal, dalam suasana perang antara “cicak” melawan “buaya” masih belum mereda, tidak seharusnya Hendarman mengeluarkan pernyatan semacam itu. Sebab itu hanya akan menambah runcing kontroversi yang sudah berlangsung akibat pernyataan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duaji tentang “cicak vs buaya”.

Jika konteks perkataan itu untuk meneguhkan kerja sama antara dua lembaga penegak hukum dalam menangani korupsi, yakni Kejagung dan Kepolisian, dia menilai pernyataan itu tidak jadi masalah. Namun urusan akan lain jika yang dimaksud adalah Kejagung dan Kepolisian bersatu melawan “cicak” alias KPK.

“Mereka kan tidak sedang berlomba-lomba. Sebagai lembaga penegak hukum mereka harus bekerja sama. Jika memang konteksnya seperti itu (melawan KPK) maka itu kebodohan luar biasa. Orang ini (Hendarman) tidak pantas lagi bicara sebagai Kejagung,” kata Zainal.

Dan menilik dari kontroversi akibat perkataan Susno, bukan tidak mungkin asumsi publik akan mengarah ke pemahaman semacam itu. Karena itulah Zainal menilai Hendarman sangat tidak sensitif. Seperti diberitakan koran ini Hendarman mengeluarkan pernyataan soal Godzilla itu berkaitan dengan kasus dugaan pencucian uang terkait Bank Century. Hendarman mengatakan Kejagung akan bekerja sama dengan Mabes Polri menuntaskan kasus tersebut.

“Jadi kalau kepolisian bertindak sendiri-sendiri itu kan namanya buaya. Nah kalau sudah bersama-sama dengan jaksa sudah bukan buaya lagi tapi Godzilla,” kata Hendarman kemarin.

Dalam wikipedia disebutkan, Godzilla adalah sebuah monster fiksi dalam film Jepang yang telah menjadi ikon terkenal. Makhluk ini menyerupai reptil raksasa yang berukuran jauh lebih besar dibanding buaya. Selain bentuknya yang mengerikan, makhluk ini juga sering digambarkan memiliki kesukaan merusak. Karena, dengan sinis, peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho membenarkan perumpamaan Jaksa Agung itu. Istilah Godzilla dinilai tepat sebab Godzilla merupakan monster yang tidak disukai, sulit diatur, dan suka merusak.

“Iya, tepat. Godzilla itu kan tipikal binatang yang paling tidak disukai di kalangan binatang sendiri. Dia sulit diatur dan suka merusak. Dia bisa memakan apa pun. Simbol-simbol yang dia (Hendarman) gunakan sebenarnya negatif,” katanya.

Perumpamaan yang dibuat Hendarman itu, kata Emerson, justru memperteguh pandangan negatif publik terhadap Kejagung.

Selain itu pernyataan Hendarman itu juga dia nilai kekanak-kanakan. “Sebab hanya anak-anak saja yang punya imaji soal Godzilla. Mungkin dia terlalu banyak nonton TV,” ucapnya. Yang aneh, menurut Emerson, polisi saja tidak mengakui dirinya sebagai buaya, tapi Hendarman justru mengklaim sebagai Godzilla. Hal ini menunjukkan betapa tidak sukanya dia terhadap KPK.

“Ini bentuk ketidaksukaan dia terhadap KPK, upaya untuk melawan KPK. Cicak lawan buaya kan Kepolisian lawan KPK. Kalau dia menyebut bukan lagi buaya tapi Godzilla, berarti yang dilawan KPK,” kata Emerson.

Apapun, menurut Emerson, tidaklah patut seorang Jaksa Agung mengeluarkan pernyataan semacam itu. Pernyataan itu justru akan menjadi bumerang bagi Kejagung dan memperburuk citranya yang sudah tidak baik. (Dikutip dari Duta Masyarakat, tanggal 13 September 2009).

SELAMAT DATANG DI BLOG INI !!!

Ass. Wr. Wb.

Selamat datang di blog saya ini, blog ini kupersembahkan untuk menampung dan mempublikasikan hal-hal yang berhubungan dengan usaha melawan KORUPSI - penyakit kronis yang membawa kesengsaraan bangsa dan negara kita ini.

Wassalam


Ahmad Mustofa